Sunday, August 26, 2012

kontrak politik adalah sesuatu yang bersifat bi-directional

ada pernyataan : "saya akan kembali gandeng kyai-kyai sepuh untuk menang"

well, sy yakin para kyai itu memikirkan umat, tentu bargainingnya adalah "klo sy dukung, mau kasih apa buat saya ?" atau "klo sy serukan umat sy untuk dukung, mau kasih apa buat umat sy ?"

yang banyak terjadi, ini berlaku sementara, begitu mau maju maka baik2 dan memberikan apa yg di minta, begitu jadi, maka lupa dan kyaipun tidak bs mengontrol kebijakan si leader tadi.


Gimana baiknya ?
1. kontrak politik adalah sesuatu yang bersifat bi-directional dan berjalan bertahap selama periode jabatan itu berlangsung antara pemimpin dan rakyatnya.
Contoh : di awal di bicarakan, nanti maunya di arahkan kemana suatu daerah ini, lalu di sepakati, dan masing2 pihak di tulis kontribusinya, si kyai dan anak buahnya bisa memberikan apa biar program itu lancar sampai ahir periode, lalu si calon ini akan berkontribusi apa, dlsb... masing2 pihak tetep punya kontrol selama masa jabatan. itulah wujud kontrak politik yang benar, yaitu antara "RAKYAT dan PEMIMPIN", bukanlah pemimpin partai dengan calon pemimpin, atau perorangan dengan calon pemimpin, dlsb...

2. para pemangku umat (para kyai, dan atau orang yang berpengaruh tdh umat), adalah komponen yang stable daripada jabatan kepala daerah, maka sebenernya yg bisa memikirkan arah dari sebuah kota / daerah tersebut adalah mereka. Harusnya mereka memiliki konsesi pola pengembangan dan kebijakan kota / daerah secara jangka panjang, yang nantinya akan di konsolidasikan dengan calon pemimpin kota / daerah untuk di jalankan secara bertahap. Pembuatan blue-print tentang arah rencana pengembangan kota / daerah ini hrs adabtable dengan kondisi sekarang, terlebih bila yang jadi pemimpin ternyata bukan dari yang di dukung.

3. perlu adanya "paku" dalam tiap periode jabatan, maksudnya : dalam tiap periode jabatan, setiap kebijakan yang tlah di buat atas kesepatan bersama, dan merupakan bagian dari program jangka panjang, perlu di PAKU,agar tidak lagi di rubah2 dan atau di mainkan oleh pemimpin di periode berikutnya, karena bisa jadi pemimpin yang terpilih bukanlah orang yang ikut dalam konsensus awal.

4. kyai / para pemangku umat adalah orang yang ikut bertanggung jawab atas apa yang di serunya, maksudnya : di awal, para kyai hrsnya ikut memaparkan apa yang akan di peroleh / apa yang akan di programkan bagi anak buahnya nanti jika terpilih, klo ternyata setelah jadi berbeda, maka para kyai bisa jadi pengontrol atas kepemimpinan yang ada.

Pola-pola lama yang tdk perlu adalah :
1. memberikan materi, krn itu sama halnya memberi 1 account buat si calon yang akan di penuhi dari hasil berkorupsi.
2. menganggap konstituen adalah orang yang "terlalu manut" dengan kyainya. ini adalah hal yang sudah terbukti salah untuk sekarang (dan masa mendatang), kenapa ?, karena konstituen sekarang sudah cerdas untuk bisa memilih. Beberapa kali para partai islam di hukum konsituen nya karena ternyata, mereka tidak lagi ikut apa yang di serukan oleh pemimpin partai tersebut. Hal ini lebih karena berkurangnya "kredibilitas" dari para pemimpin partai tersebut.

hal yang perlu di ketahui oleh para konstituen / warga yang punya hak pilih,
akan ada 8 kombinasi masalah antara pernyataan "diserukan", "ikutSeruan", "menang", tp dpt di simplify seperti ini :

1.secara umum, warga itu hanya akan ikut arus umum, hanya bila mereka punya kontrak politik dengan pemimpin yang amanahlah mereka bisa ikut mengarahkan arus umum tersebut bersama-sama.

2. orang2 yang di tengah (para kyai dan atau pemangku umat) apakah orang yang bs di salahkan dalam hal kesalahan pemimpin ?, jawabnya tidak sepenuhnya, karena buktinya yang nyoblos mereka dulunya yang punya hak kan di tangan konstituen itu sendiri. klo mau di salahkan maka yang paling salah ya yang nyoblos, bukan hanya yang menyerukan.

Jadi, yuuk para konstituen, para kyai / pemangku umat, para calon pemimpin, sama2 bersihkan niat untuk bisa membangun bangsa bersama-sama untuk kepentingan / kesejahteraan bersama pula.